Undang-undang Hak
Cipta yang dilegalisasi oleh negara-negara tersebut, harus memberikan hakkepada
individu untuk melindungi hasil ciptaannya, serta melarang orang lain
untukmemanfaatkan ciptaan tersebut kecuali dengan izinnya. Negara harus menjaga
hak tersebut danmemberikan sanksi bagi setiap orang yang melanggarnya dengan
sanksi penjara puluhan tahun,baik ketika (penciptanya) masih hidup atau telah
mati. Undang-undang yang dilegalisasi jugaharus mencakup undang-undang
perlindungan (bagi) perusahaan-perusahaan pemegang hakpatent.
Maksud dari karya
cipta adalah, pemikiran atau pengetahuan yang diciptakan oleh seseorang,dan
belum ditemukan oleh orang lain sebelumnya. Bagian terpenting dari karya-karya
ciptatersebut adalah pengetahuan yang bisa dimanfaatkan dalam perindustrian
serta produksi barangdan jasa, dan apa yang saat ini dinamakan dengan
‘teknologi’.
Dengan demikian,
orang-orang kapitalis menganggap bahwa pengetahuan-pengetahuan individusebagai
‘harta’ yang boleh dimiliki, dan bagi orang yang mengajarkan atau
mempelajaripengetahuan tersebut tidak diperbolehkan memanfaatkannya, kecuali
atas izin pemegang patentdan ahli warisnya, sesuai dengan standar-standar
tertentu. Jika seseorang membeli buku, ‘disket’atau ‘kaset’, yang mengandung
pemikiran baru, maka ia berhak memanfaatkan sebatas apa yangdibelinya saja,
dalam batas-batas tertentu, seperti membaca atau mendengarkan. Dia
dilarang,berdasarkan Undang-undang Perlindungan Hak Cipta, untuk
memanfaatkannya dalam perkara-perkara lain, seperti mencetak, dan menyalin
untuk diperjualbelikan atau disewakan.
Lalu apa hukum syara’
tentang kepemilikan individu (private property) terhadap barang-barangdan
pemikiran-pemikiran?
Islam telah mengatur
kepemilikan individu dengan suatu pandangan bahwa kepemilikan tersebutmerupakan
salah satu penampakkan dari naluri mempertahankan diri (gharizah baqa’). Atas
dasar itu, Islam mensyariatkan bagi kaum Muslim ‘kepemilikan’ untuk memenuhi
naluri ini,yang akan menjamin eksistensi dan kehidupan yang lebih baik. Islam
membolehkan bagi seorangMuslim untuk memiliki harta sebanyak-banyaknya,
seperti: binatang ternak, tempat tinggal, danhasil bumi. Di sisi lain Islam
mengaharamkan seorang Muslim untuk memiliki barang-barang,seperti: khamr,
daging babi, dan narkoba. Islam telah mendorong seorang Muslim untuk
berfikirdan menuntut ilmu, begitu juga Islam membolehkan seorang Muslim untuk
mengambil upahkarena mengajar orang lain. Islam juga telah mensyariatkan bagi
seorang muslim sebab-sebabyang dibolehkan untuk memiliki suatu barang, seperti:
jual-beli, perdagangan, dan waris; danmengharamkan seorang Muslim sebab-sebab
(kepemilikan, penerj.) lain (yang bertentangandengan Islam, penerj.), seperti:
riba, judi, dan jual beli valas (tidak secara tunai dan langsung-penerj).
Kepemilikan dalam
Islam, secara umum diartikan sebagai ijin Syaari’ (Allah) untukmemanfaatkan
barang. Sedangkan kepemilikan individu adalah hukum syara’ yang mengaturbarang
atau jasa yang disandarkan kepada individu; yang memungkinkannya
untukmemanfaatkan barang dan mengambil kompensasi darinya. Kepemilikan individu
dalam Islamtidak ditetapkan kecuali atas dasar ketetapan hukum syara’ bagi
kepemilikan tersebut, danpenetapan syara’ bagi sebab kepemilikan tersebut.
Karena itu, hak untuk memiliki sesuatu tidakmuncul dari sesuatu itu sendiri,
atau manfaatnya; akan tetapi muncul dari ijin Syaari’ untukmemilikinya dengan
salah satu sebab kepemilikan yang syar’iy, seperti jual-beli dan hadiah.
Islam telah memberikan
kekuasaan kepada individu atas apa yang dimilikinya, yangmemungkinkan ia dapat
memanfaatkannya sesuai dengan hukum syara’. Islam juga telahmewajibkan negara
agar memberikan perlindungan atas kepemilikan individu dan menjatuhkansanksi
bagi setiap orang yang melanggar kepemilikan orang lain.
Mengenai kepemilikan
atas Pemikiran Baru, mencakup dua jenis dari kepemilikan individu.Pertama,
sesuatu yang terindera dan teraba, seperti merk dagang dan buku. Kedua, sesuatu
yangterindera tetapi tidak teraba, seperti pandangan ilmiah dan pemikiran
jenius yang tersimpandalam otak seorang pakar.
Apabila kepemilikan
tersebut berupa kepemilikan jenis pertama, seperti merk dagang yangmubah, maka
seorang individu boleh memilikinya, serta memanfaatkannya dengan
caramengusahakannya atau menjual-belikannya. Negara wajib menjaga hak individu
tersebut,sehingga memungkinkan baginya untuk mengelola dan mencegah orang lain
untuk melanggarhak-haknya. Sebab, dalam Islam, merk dagang memiliki nilai
material, karena keberadaanyasebagai salah satu bentuk perniagaan yang
diperbolehkan secara syar’iy. Merk dagang adalahLabel Product yang dibuat oleh
pedagang atau industriawan bagi produk-produknya untukmembedakan dengan produk
yang lain, yang dapat membantu para pembeli dan konsumen untukmengenal
produknya. Definisi ini tidak mencakup merk-merk dagang yang sudah
tidakdigunakan lagi, sebagaimana oleh sebagian undang-undang didefinisikan
sebagai: “Merk apapunyang digunakan atau merk yang niatnya hendak digunakan.”
Sebab, nilai merk dagang dihasilkandari keberadaanya sebagai bagian dari
aktivitas perdagangan secara langsung. Seseorang bolehmenjual merk dagangnya.
Jika ia telah menjual kepada orang lain, manfaat dan pengelolaannyaberpindah
kepada pemilik baru.
Adapun mengenai
kepemilikan fikriyyah, yaitu jenis kepemilikan kedua, seperti pandanganilmiah
atau pemikiran briliant, yang belum ditulis pemiliknya dalam kertas, atau
belumdirekamnya dalam disket, atau pita kaset, maka semua itu adalah milik
individu bagi pemiliknya.Ia boleh menjual atau mengajarkannya kepada orang
lain, jika hasil pemikirannya tersebutmemiliki nilai menurut pandangan Islam.
Bila hal ini dilakukan, maka orang yangmendapatkannya dengan sebab-sebab
syar’iy boleh mengelolanya tanpa terikat dengan pemilikpertama, sesuai dengan
hukum-hukum Islam. Hukum ini juga berlaku bagi semua orang yangmembeli buku,
disket, atau pita kaset yang mengandung materi pemikiran, baik pemikiran
ilmiahataupun sastra. Demikian pula, ia berhak untuk membaca dan memanfaatkan
informasi-informasiyang ada di dalamnya. Ia juga berhak mengelolanya, baik
dengan cara menyalin, menjual ataumenghadiahkannya, akan tetapi ia tidak boleh
mengatasnamakan (menasabkan) penemuantersebut pada selain pemiliknya. Sebab,
pengatasnamaan (penisbahan) kepada selain pemiliknyaadalah kedustaan dan penipuan,
di mana keduanya diharamkan secara syar’iy. Oleh karena itu,hak perlindungan
atas kepemilikan fikriyyah merupakan hak yang bersifat maknawi, yang
hakpengatasnamaannya dimiliki oleh pemiliknya. Orang lain boleh memanfaatkannya
tanpa seijindari pemiliknya. Jadi, hak maknawi ini hakekatnya digunakan untuk
meraih nilai akhlaq. Akantetapi, orang-orang kapitalis telah memfokuskan
seluruh aktivitas dan undang-undang merekauntuk meraih nilai materi saja. Nilai
materi itu pula yang digunakan sebagai totok ukur (standar)ideologi mereka
dalam kehidupan. Bahkan mereka telah mengabaikan nilai-nilai
ruhiyyah,insaniyyah (kemanusiaan), dan akhlaq yang difitrahkan dalam diri
manusia untuk meraih nilai-nilai materi. Mereka telah menenggelamkan orang alim
dengan keburukan-keburukan dankelemahan-kelemahan
Adapun, syarat-syarat
yang ditetapkan oleh hukum-hukum positif, yang membolehkanpengarang buku, atau
pencipta program, atau para penemu untuk menetapkan syarat-syarattertentu atas
nama perlindungan hak cipta, seperti halnya hak cetak dan proteksi
penemuan(patent), merupakan syarat-syarat yang tidak syar’iy, dan tidak wajib
terikat dengan syarat-syarattersebut. Sebab, berdasarkan akad jual-beli dalam
Islam, seperti halnya hak kepemilikan yangdiberikan kepada pembeli, pembeli juga
diberi hak untuk mengelola apa yang ia miliki (yangtelah ia beli, penej.).
Setiap syarat yang bertentangan dengan akad (syar’iy) hukumnya haram,walaupun
pembelinya rela meski dengan seratus syarat. Dari ‘Aisyah ra:
“Barirah mendatangi
seorang perempuan, yaitu seorang mukatab yang akan dibebaskan olehtuannya jika
membayar 9 awaq (1 awaq=12 dirham=28 gr). Kemudian Barirah berkatakepadanya,
“Jika tuanmu bersedia, aku akan membayarnya untuk mereka jumlahnya,
makaloyalitas [mu] akan menjadi milikku.” Mukatab tersebut lalu mendatangi
tuannya, danmenceritakan hal itu kepada mereka. Kemudian mereka menolak dan
mensyaratkan agarloyalitas [budak tersebut] tetap menjadi milik mereka. Hal itu
kemudian diceritakan ‘Aisyahkepada Nabi saw. Rasulullah saw bersabda: “Lakukanlah.”
Kemudian Barirah melaksanakanperintah tersebut dan Rasulullah saw berdiri, lalu
berkhutbah di hadapan manusia. Beliau segeramemuji Allah dan menyanjung
namaNya. Kemudian bersabda: “Tidak akan dipedulikan,seseorang yang mensyaratkan
suatu syarat yang tidak sesuai dengan apa yang tercantum dalamKitabullah.”
Kemudian beliau bersabda lagi: “Setiap syarat yang tidak ada dalam
Kitabullah,maka syarat tersebut adalah bathil. Kitabullah lebih berhak, dan
syaratnya (yang tercantumdalam Kitabullah) bersifat mengikat. Loyalitas
dimiliki oleh orang yang membebaskan.”
Mantuq (teks) hadist
ini menunjukkan bahwa syarat yang bertentangan dengan apa yangtecantum dalam
Kitabullah dan Sunnah Rasul, tidak boleh diikuti. Dan selama syaratperlindungan
hak cipta menjadikan barang yang dijual (disyaratkan) sebatas pada
suatupemanfaatan tertentu saja, tidak untuk pemanfaatan yang lain, maka syarat
tersebut adalah bataldan bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.
Sebab, keberadaannya bertentangandengan ketetapan aqad jual-beli syar’iy yang
memungkinkan pembeli untuk mengelola danmemanfaatkan barang dengan cara apapun
yang sesuai syar’iy, seperti jual-beli, perdagangan,hibah, dan lain-lain.
Syarat yang mengharamkan sesuatu yang halal adalah syarat yang batil,berdasarkan
sabda Rasulullah saw:
“Kaum Muslim terikat
atas syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan sesuatuyang halal
dan menghalalkan yang haram.”
Oleh karena itu,
secara syar’iy tidak boleh ada syarat-syarat hak cetak, menyalin, atau
proteksiatas suatu penemuan. Setiap individu berhak atas hal itu (memanfaatkan
produk-produkintelektual). Pemikir, ilmuwan, atau penemu suatu program, mereka
berhak memilikipengetahuannya selama pengetahuan tersebut adalah miliknya dan
tidak diajarkan kepada oranglain. Adapun setelah mereka memberikan ilmunya
kepada orang lain dengan cara mengajarkan,menjualnya, atau dengan cara lain,
maka ilmunya tidak lagi menjadi miliknya lagi. Dalam halini, kepemilikinnya
telah hilang dengan dijualnya ilmu tersebut, sehingga mereka tidakberwenang
melarang orang lain untuk memanfaatkannya; yaitu setelah ilmu tersebut
berpindahkepada orang lain dengan sebab-sebab syar’iy, seperti dengan jual-beli
atau yang lainnya.
Adapun peringatan yang
tercantum pada beberapa ‘disket komputer’, yakni tidak diperbolehkanmengcopy
program; di mana pemiliknya telah melarang orang lain untuk mengcopinya
kecualiatas izinnya; berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
Kaum Muslim terikat
atas syarat-syarat mereka dan sabda Beliau : “tidak halal harta seorangmuslim
kecuali dengan kerelaan dirinya”, juga sabdanya : “barang siapa mendapatkan
palingawal sesuatu yang mubah, maka ia adalah orang yang paling berhak”.
Maka kesalahan
‘peringatan’ tersebut terletak pada pengumuman yang menggunakan
lafazd’syarat-syarat mereka’, tanpa ada pengecualian sebagaimana yang telah
dikecualikan oleh Rasuldengan sabdanya, “…kecuali syarat yang mengharamkan
sesuatu yang halal…”. Dua haditsterakhir tidak sesuai dengan manath kasus
tersebut, sebab hadits, ‘…tidak halal harta seseorang…”, manath-nya adalah
harta milik orang lain, sedangkan ‘disket komputer’ telah menjadi milikpembeli.
Adapun hadits, “barang siapa mendapatkan paling awal sesuatu yang mubah, maka
iaorang yang paling berhak,” manath-nya adalah harta milik umum, sebagaimana hadits,
“(Kota)Mina menjadi hak bagi siapa saja yang datang lebih dahulu (untuk
menempatinya)”. Sedangkan‘disket komputer’ tergolong kepemilikan individu.
Sesungguhnya,
Undang-undang Perlindungan Hak Cipta merupakan salah satu cara
penjajahanekonomi dan peradaban yang telah digulirkan oleh negara-negara
kapitalis besar kepada negara-negara di seluruh dunia dan penduduknya melalui
WTO. Setelah negara-negara tersebut berhasilmenguasai teknologi –yakni
pengetahuan yang berhubungan dengan industri, produksi barangdan jasa– mereka
membuat undang-undang agar bisa ‘menimbun’ pengetahuan-pengetahuan tersebut,
dan mencegah negara-negara lain mengambil manfaat hakiki dari penemuan
tersebut;agar negara-negara lain tetap menjadi pasar konsumtif bagi
produk-produk mereka dan tundukdibawah pengaturannya; juga agar mereka bisa
mencuri kekayaan dan sumberdaya alam negara-negara kecil atas nama investasi
dan globalisasi.
Sesungguhnya umat
Islam adalah umat yang agung dengan kekuatan kepemimpinanya. Orang-orang kafir
telah menyadari kekuatan dan bahaya umat Islam bagi mereka apabila umat
Islamkembali kepada ideologi Islam. Oleh karena itu, mereka memaksakan kepada
umat Islamhukum-hukum positif mereka, seperti Undang-undang Perlindungan Hak
Cipta dan yangsejenisnya. Tujuannya, untuk mencegah (umat Islam mendapatkan,
penerj.) sebab-sebabkekuatan, dan menjauhkan umat Islam dari ideologi Islam.
Maka dari itu, kaum Muslim harusmenyadari bahaya hukum-hukum positif tersebut
bagi agama mereka dan kehidupan mereka.Kaum Muslim-lah yang dijadikan sasaran
mereka. Mereka telah ‘menimbun’ pengetahuan-pengetahuan ilmiah untuk mencegah
kaum Muslim mendapatkan manfaat-manfaatnya. Semuaitu dilakukan agar kaum Muslim
tetap terbelakang dan tidak dapat bangkit dengan landasanIslam. Berdasarkan hal
ini, kaum Muslim harus menolak dan tidak boleh terikat dengan hukum-hukum
tersebut. Sebab, hukum-hukum tersebut bukan berasal dari Islam, dan dibuat
untukmenimpakan kehancuran bagi umat Islam.
Kaum Muslim wajib
mengetahui setiap kunci dan nafas dalam rangka menegakkan kembaliNegara
Khilafah yang akan mengembalikan kemuliaan, kesatuan, dan kekuatan mereka.
Danagar mereka mampu membersihkan dunia dari kenistaan dan imperialisme
kapitalis untukmenuju keadilan Islam. Allah Swt berfirman:
Dialah yang telah
mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al Qur’an) dan agamayang benar
untuk dimenangkan-Nya atas segala agama (ideologi dan pemikiran),
walaupunorang-orang musyrik tidak menyukainya. (QS. at-Taubah [9]:33)
No comments:
Post a Comment