Walaupun sebenarnya ada perbedaan pendapat para ‘Ulama tentang bagaimana
menentukan awal & akhir Ramadhan, namun tetap terasa kurang sreg
ketika menyaksikan perbedaan ini semakin jauh hingga bisa terjadi 3 hari
yang berbeda bagi umat Islam untuk memulai dan mengakhiri Ramadhan,
padahal sehari semalam hanya 24 jam, rembulan hanya ada satu buah,
buminya satu buah, serta matahari untuk bumi ini juga satu buah. Orang
yang berfikir tentunya bisa melihat bahwa pasti ada yg kurang tepat
dalam hal ini. Tulisan ini berupaya mengajak pembaca melihat perbedaan
pendapat para ‘ulama dalam masalah ini, melihat hujjah/alasan mereka,
dan melihat realitas yg mereka bahas (manâth al hukm) yakni realitas
terjadinya bulan baru (hilal) dari aspek astronomi.
Tulisan
ini bukan bermaksud mengecilkan yg berbeda pendapat, namun kami tulis
karena kami merasa perlu menulisnya, dg harapan semoga bermanfa’at bagi
yang sedang mengkajinya, untuk kemudian mengambil pendapat yang dianggap
kuat, tanpa meremehkan apalagi melecehkan pihak lain.
I. Perbedaan Pandangan tentang Pengaruh Mathla’[1]
Garis besarnya ada dua pendapat ‘ulama yang berbeda dalam menyikapi mathla’ (tempat terbitnya hilal).
Pertama,
tidak ada pengaruh perbedaan mathla’ dalam penentuan awal akhir
Ramadhan. Maksudnya, jika pada suatu wilayah penduduknya sudah melihat
hilal (Ramadhan), maka wajib hukumnya wilayah yang lain yang belum
melihat hilal mengikuti hasil ru’yah negara tersebut, baik wilayah
tersebut dekat atau jauh. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, yakni
pendapat yang mu’tamad dari kalangan Hanafiyyah[2], Imam Malik[3] (wafat
179 H), Al Laits bin Sa’ad (wafat 175 H), Imam As Syafi’i[4](wafat 204
H), sebagian kecil kalangan Syafi’yyah seperti Abu Thayyib[5] (wafat 341
H), Imam Ahmad (wafat 241 H), juga pendapat Ibnu Taymiyyah (wafat 728
H) dan Imam Asy Syaukany (wafat 1250 H) dari kalangan ahli tahqiq.
Kedua,
perbedaan mathla’ dianggap berpengaruh terhadap perbedaan penentuan
awal-akhir Ramadhan. Tiap wilayah bisa bersandar kepada hasil ru’yah
wilayahnya sendiri dan tidak harus mengikuti hasil ru’yah wilayah yang
lain. ‘Ulama yang berpandangan seperti ini antara lain Ibnu Abbas, Ibnul
Mubarak, Imam Malik[6], sebagian besar kalangan Syafi’iyyah seperti
Imam As Syairozi (wafat 476 H, penulis kitab al Muhadzdzab) dan Ar
Rofi’i (wafat 623 H), dan az Zayla’i (wafat 743 H) dari kalangan
Hanafiyyah[7]. Diantara mereka juga terjadi perbedaan tajam dalam
menentukan kriteria apa yang membolehkan beda awal-akhir Ramadhan,
sebagian menyatakan boleh beda secara muthlaq berdasarkan ru’yat
masing-masing, baik dekat ataupun jauh, sebagian menyatakan boleh
berbeda kalau berjauhan, kalau dekat dianggap satu kesatuan. Yang
membolehkan berbeda kalau berjauhan juga terjadi perbedaan dalam
menentukan kriteria “jauh” seperti apa yang membolehkan berbeda
awal-akhir Ramadhan.
Kenapa Terjadi Perbedaan?
Perbedaan
terjadi bisa karena berbeda dalam memahami nash, ditambah objek yang
dihukumi (manâthul hukm), yakni ilmu astronomi tentang munculnya hilal
(bulan baru) yang masih kurang difahami.
Berikut nash yang di perselisihkan pemahamannya:
a. Hadits Riwayat Bukhari dari Abu Hurairah, dan hadits lain yg semakna, dg redaksi yg berbeda seperti riwayat Muslim, dll.
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
Berpuasalah
kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena
melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka
sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. (HR. Bukhory)
b. Hadits yang diriwayatkan Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa’i, & Ahmad dari Kuraib:
أَنَّ
أُمَّ الْفَضْلِ بَعَثَتْهُ إلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ فَقَالَ :
فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ
وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ
قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللَّهِ
بْنُ عَبَّاسٍ، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ: مَتَى رَأَيْتُمْ
الْهِلَالَ؟ فَقُلْتُ: رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ، فَقَالَ: أَنْتَ
رَأَيْتَهُ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ
مُعَاوِيَةُ، فَقَالَ: لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلَا
نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلَاثِينَ أَوْ نَرَاهُ، فَقُلْتُ :
أَلَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ؟ فَقَالَ : لَا،
هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Bahwa
Ummul Fadl telah mengutusnya untuk menemui Muawiyyah di Syam. Kuraib
berkata, “Aku memasuki Syam lalu menyelesaikan urusan Ummul Fadhl.
Ternyata bulan Ramadhan tiba sedangkan aku masih berada di Syam. Aku
melihat hilal pada malam Jumat. Setelah itu aku memasuki kota Madinah
pada akhir bulan Ramadhan. Ibnu ‘Abbas lalu bertanya kepadaku dan
menyebut persoalan hilal’. Dia bertanya, ‘Kapan kalian melihat hilal?’
Aku menjawab, ‘Kami melihatnya pada malam Jum’at.’ Dia bertanya lagi,
‘Apakah kamu sendiri melihatnya?’ Aku jawab lagi, ‘Ya, dan orang-orang
juga melihatnya. Lalu mereka berpuasa, begitu pula Muawiyyah.’ Dia
berkata lagi, ‘Tapi kami (di Madinah) melihatnya pada malam Sabtu. Maka
kami terus berpuasa hingga kami menyempurnakan bilangan tiga puluh hari
atau hingga kami melihatnya.’ Aku lalu bertanya, ‘Tidak cukupkah engkau
berpedoman pada ru’yat dan puasa Muawiyyah?’ Dia menjawab, ‘Tidak,
(sebab) demikianlah Rasulullah Saw telah memerintahkan kepada kami.
Berkaitan dengan 2 nash ini dan nash lain yang semakna, muncul persoalan:
1.
Bolehkah keumuman khithab (seruan) untuk seluruh mukallaf di takhsis
dengan dalil aqliy (akal)? Bolehkah kemutlakan ru’yat di taqyid dengan
dalil aqliy?
2. Tentang kemutlakan mathla’ hilal dan kenisbiannya.
3.
Tentang pertentangan nash (hadits) dengan atsar, apakah pendapat Ibnu
Abbas dalam kisah “Kuraib” dibangun atas hadits yang marfu’ atau ijtihad
Ibnu Abbas sendiri? Apakah riwayat “Kuraib” membatasi kemutlakan
“Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian
karena melihatnya (hilal)” ataukah merupakan penerapan dari pemahaman
Ibnu Abbas atas sabda Rasul “Berpuasalah kalian karena melihatnya
(hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal)”?.
Pihak
Pertama, yakni para ‘ulama yang berpendapat bahwa ru’yat di satu wilayah
berlaku juga di wilayah lain menggunakan dalil keumuman nash point a)
yakni bahwa perintah dalam hadits ini adalah untuk umat (Islam) secara
keseluruhan, baik yang ada di timur ataupun di barat (namun penerapannya
pada saat itu memang tidak semudah sekarang). Perintah puasa karena
melihat bulan dalam hadits ini jelas berlaku untuk yang melihat
langsung, maupun yang tidak melihat langsung, yakni yang mendapat berita
bahwa hilal telah terlihat. Dari Ibnu Abbas diriwayatkan bahwa:
جَاءَ
أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ
إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا
اللَّهُ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ
يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ أَنْ يَصُومُوا غَدًا
Telah datang
seorang Arab Badui kepada Nabi Muhammad saw kemudian berkata, “Sungguh
saya telah melihat hilal. Rasulullah bertanya, “Apakah anda bersaksi
bahwa tidak ada ilah selain Allah dan bersaksi bahwa sesungguhnya
Muhammad adalah Rasulullah?” Orang tersebut menjawab, “Ya”. Lalu
Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal, umumkan kepada manusia (khalayak)
agar mereka berpuasa besok.” (HR Imam yang lima, disahihkan oleh
Khuzaimah & Ibnu Hiban).
Hadits ini menjelaskan bahwa yang
tidak melihat hilal secara langsungpun wajib berpuasa berdasarkan ru’yat
orang lain yang melihat hilal. Hadits ini juga tidak dibatasi dg asal
daerah orang badui tersebut atau batasan jarak, dan lainnya.
Adapun
Pihak Kedua, yakni para ‘ulama yang menyatakan bahwa tiap wilayah
menggunakan ru’yatnya sendiri-sendiri menggunakan dalil point b).
Selanjutnya mereka berselisih tentang berapa ukuran jauh/dekat yang
membolehkan berbeda, padahal tidak ada nash yang menyatakan hal
tersebut. Mereka juga menyatakan akal bisa mentakhsis keumuman dalil
ru’yat hilal diqiyaskan dengan mathla’ matahari dimana perputaran
matahari menyebabkan perbedaan waktu shalat. Begitu juga mereka
memandang apa yang dinyatakan Ibnu Abbas dalam pernyataan pada dalil b)
ketika ditanya:
أَلَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ
وَصِيَامِهِ ؟ فَقَالَ : لَا ، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
‘Tidak cukupkah engkau berpedoman pada
ru’yat dan puasa Muawiyyah?’ Dia menjawab, ‘Tidak, (sebab) demikianlah
Rasulullah Saw telah memerintahkan kepada kami
PernyataanIbnu
Abbas “demikianlah Rasulullah Saw telah memerintahkan kepada kami”
mereka anggap marfu’ sampai kepada Rasulullah bahwa Ibnu abbas
mengetahui dalilnya dari Rasulullah walaupun Ibnu Abbas tidak
menjelaskan bagaimana perintah Rasul yang dimaksud.
Adapun Pihak
Pertama memahami bahwa riwayat Ibnu Abbas itu mauquf pada Ibnu Abbas,
dan merupakan ijtihad Ibnu Abbas sendiri. Jika dicermati, perkataan لَا،
هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
merupakan jawaban Ibnu Abbas atas pertanyaan Kuraib dalam merespon suatu
peristiwa yang terjadi pada masa beliau. Yakni terjadinya perbedaan
antara penduduk Madinah dan penduduk Syam dalam mengawali puasa.
Penduduk Syam melihat hilal pada malam Jumat, sementara penduduk Madinah
melihatnya pada malam Sabtu. Ketika kejadian itu ditanyakan kepada Ibnu
Abbas, mengapa penduduk Madinah tidak mengikuti ru’yah penduduk Syam
saja, kemudian keluarlah jawaban Ibnu Abbas tersebut.
Bertolak
dari kisah tersebut, maka ke-marfu-an hadits ini yang dipertanyakan:
“Apakah peristiwa serupa memang pernah terjadi pada masa Rasulullah saw
kemudian demikianlah keputusan beliau saw dalam menyikapi perbedaan
itu?” “Ataukah itu merupakan kesimpulan Ibnu Abbas atas sabda Rasulullah
saw mengenai penentuan awal dan akhir Ramadhan, sehingga perkataan Ibnu
Abbas itu adalah penerapan hasil ijtihad beliau terhadap kasus ini?
Dalam hal ini Imam As Syaukani menjelaskan:
وَاعْلَمْ
أَنَّ الْحُجَّةَ إنَّمَا هِيَ فِي الْمَرْفُوعِ مِنْ رِوَايَةِ ابْنِ
عَبَّاسٍ لَا فِي اجْتِهَادِهِ الَّذِي فَهِمَ عَنْهُ النَّاسُ
وَالْمُشَارُ إلَيْهِ بِقَوْلِهِ: ” هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ –
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ [8]
“Ketahuilah, bahwa yang layak
menjadi hujjah itu tidak lain adalah riwayat yang marfu’ dari Ibnu
Abbas, bukan Ijtihad Ibnu Abbas itu sendiri yang difahami manusia dan
dirujuk yakni perkataannya (Ibnu Abbas): “demikianlah Rasulullah Saw
telah memerintahkan kepada kami”.
Beliau lalu menambahkan (yakni riwayat yang marfu’, yang difahami Ibnu Abbas untuk menjawab pertanyaan Kuraib) :
لَا
تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ، وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ
فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ
“Janganlah
kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal. Dan janganlah kalian
berbuka puasa (mengakhiri Ramadhan) hingga kalian melihatnya pula. Maka
jika (pandangan) kalian terhalang, sempurnakanlah bilangan sebanyak tiga
puluh hari.”
وَهَذَا لَا يَخْتَصُّ بِأَهْلِ نَاحِيَةٍ عَلَى
جِهَةِ الِانْفِرَادِ بَلْ هُوَ خِطَابٌ لِكُلِّ مَنْ يَصْلُحُ لَهُ مِنْ
الْمُسْلِمِينَ
Dan (Sabda beliau SAW) ini tidaklah dikhususkan untuk
penduduk suatu daerah tertentu tanpa menyertakan daerah yang lain.
Bahkan sabda beliau ini merupakan Khitab (seruan) yang tertuju kepada
siapa saja di antara kaum muslimin”
Di sinilah letak syubhat
hadits ini, apakah tergoloh marfû’ atau mawqûf. Agar lebih jelas, kita
bisa membandingkan hadits ini dengan hadits lain yang tidak mengandung
syubhat, yang sama-sama menggunakan ungkapan “amaranâ Rasûlullâh saw”.
Hadits dari Ibnu Umar yang berkata:
أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ أَنْ تُؤَدَّى
قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ
Rasulullah saw memerintahkan kami dalam zakat fithri agar ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang untuk shalat (HR Abu Dawud)
Hadits
ini tidak diragukan sebagai hadits marfû’. Sebab, Hadits ini berisi
sebuah ketentuan hukum atas suatu perbuatan. Berbeda halnya dengan
Hadits Ibnu Abbas di atas, yang berisi jawaban beliau mengenai suatu
kasus yang terjadi masa beliau. Tampak bahwa perkataan Ibnu Abbas
tersebut merupakan ijtihad beliau dalam menyikapi kejadian yang terjadi
pada saat itu. Kesimpulan demikian juga disampaikan oleh sebagian ulama,
seperti al-Syaukani yang menggolongkan Hadist ini sebagai ijtihad Ibnu
Abbas
Sebagai sebuah ijtihad, kaum Muslim diperbolehkan untuk
taklid kepada ijtihad Ibnu Abbas. Namun jika untuk dijadikan sebagai
dalil syara’, yang darinya digali hukum-hukum syara’, jelas tidak
diperbolehkan. Sebab, sahabat bukanlah orang yang ma’shum. Ijtihadnya
tidak termasuk dalam dalil syara’.
Kesimpulan Penulis
1.
Penulis lebih cenderung kepada pendapat yang pertama, bahwa dimanapun
hilal (1 Ramadhan) terlihat, maka itu menjadi patokan untuk berpuasa
bagi umat Islam seluruhnya, begitu juga untuk Syawwal, dengan berbagai
alasan:
a) Konteks hadits pertama (berpuasalah kalian karena
melihat hilal …) mencakup seluruh kaum muslimin tanpa memperhatikan
adanya persamaan atau perbedaan mathla’, sementara menggunakan aqal
untuk mengqiyaskan dengan perputaran matahari untuk waktu shalat adalah
kurang tepat, karena kalau toh dianalogikan dg shalat, bahwa waktu
shalat berbeda-beda, bukankah walaupun patokannya satu ru’yat waktu
sahurnya juga berbeda-beda, waktu mulai puasanya juga beda-beda, waktu
berbukanya juga berbeda-beda, tidak berarti bahwa setelah hilal terlihat
lalu langsung puasa, kan nunggu fajar dulu, (memang akan masih muncul
permasalahan fiqh misal di daerah A waktu maghrib melihat hilal, pada
saat bersamaan di daerah Z pas detik pertama fajar atau sudah masuk
waktu subuh, atau waktu dhuha, bagaimana hukumnya daerah Z tersebut? Ini
pembahasan lain, termasuk adanya garis batas penanggalan sehingga
melewati garis tsb bisa beda hari, ini juga pembahasan lain, yang
penulis renungkan masih mungkin beda hari (nama harinya), walau dengan
patokan pendapat pertama, termasuk masih memungkinkan di belahan dunia
yg satu puasanya 29 hari dan di belahan lain puasanya 30 hari walau dg
patokan pendapat pertama).
b) Hadits kedua (tentang cerita Kuraib
bahwa Syam dengan Madinah beda akhir Ramadhan) telah dijelaskan Imam As
Syaukani bahwa itu ijtihad Ibnu Abbas sendiri yang memang harus kita
hormati. Namun bagi (orang sekarang) yang mengambil pendapat bolehnya
berbeda dengan alasan riwayat ini, saya lihat tidak konsekuen
menggunakan dalil ini, seharusnya kalau konsekuen dengan hadits
tersebut, sedangkan jarak Madinah (24o28’ N 39o36’ E ) dengan Syam
(33°30′N 36°18′E) hanya berkisar 1.044 km[9], perbedaan waktu antara
Madinah dengan Syam hanya 13 menit 12 detik[10], sedangkan Syam dan
Madinah saat itu satu negara, maka kalau konsekuen dengan riwayat ini,
seharusnya setiap beda waktu 13 menit 12 detik juga memungkinkan beda
hari puasa/idul fithrinya.
c) Pendapat ini lebih menyatukan kaum
muslimin dan mengurangi perbedaan, akan terasa tidak sreg kalau hanya
beda 13 menit 12 detik sudah beda hari raya (walaupun untuk zaman dahulu
mungkin mereka bisa saling tidak tahu kalau berbeda).
2) Bagi
yang bermadzhab Syafi’i, tidak perlu berpindah madzhab untuk mengikuti
pendapat pertama, walaupun pendapat pertama (dimanapun hilal terlihat,
itu jadi patokan semua umat Islam) merupakan pendapat minoritas di
kalangan Syafi’iyyah, namun pendapat ini juga nisbahnya ke Syafi’iyyah
bahkan ke Imam Syafi’i sendiri.
Allahu Ta’ala A’lam (insya Allah bersambung tentang ikhitilaf ‘Ulama dalam hisab atau ru’yat).
[1] Mathla’ = tempat terbitnya hilal (bulan baru)
[2] ابن عابدين: رسائل ابن عابدين 1 / 228، 229 :
وَالْمُعْتَمَدُ
الرَّاجِحُ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ أَنَّهُ لاَ اعْتِبَارَ بِاخْتِلاَفِ
الْمَطَالِعِ فَإِذَا ثَبَتَ الْهِلاَل فِي مِصْرٍ لَزِمَ سَائِرَ النَّاسِ
فَيُلْزَمُ أَهْل الْمَشْرِقِ بِرُؤْيَةِ أَهْل الْمَغْرِبِ فِي ظَاهِرِ
الْمَذْهَبِ
[3] Yakni dalam riwayat Ibnul Qasim dan orang-orang Mesir
[4] Ini menurut keterangan al Hafidz Ibnu Abdil Barr (wafat 463 H) dalam Kitabnya, Al Istidzkâr (3/282), beliau menulis:
وَاخْتَلَفَ
الْعُلَمَاءُ فِي حُكْمِ هِلَالِ رَمَضَانَ أَوْ شَوَّالٍ يَرَاهُ أَهْلُ
بَلَدٍ دُونَ غَيْرِهِمْ فَكَانَ مَالِكٌ فِيمَا رَوَاهُ عنه بن الْقَاسِمِ
وَالْمِصْرِيُّونَ إِذَا ثَبَتَ عِنْدَ النَّاسِ أَنَّ أَهْلَ بَلَدٍ
رَأَوْهُ فَعَلَيْهِمُ الْقَضَاءُ لِذَلِكَ الْيَوْمِ الذي أفطروه وصيامه
غَيْرِهِمْ بِرُؤْيَةٍ صَحِيحَةٍ وَهُوَ قَوْلُ اللَّيْثِ وَالشَّافِعِيِّ
وَالْكُوفِيِّينَ وَأَحْمَدَ
al Hafidz Ibnu Hajar al Asqalany (wafat 852 H) dalam Fathul Bâry (4/123) juga menulis :
وَقَالَ
بَعْضَ الشَّافِعِيَّةِ إِنْ تَقَارَبَتِ الْبِلَادُ كَانَ الْحُكْمُ
وَاحِدًا وَإِنْ تَبَاعَدَتْ فَوَجْهَانِ لَا يَجِبُ عِنْدَ الْأَكْثَرِ
وَاخْتَارَ أَبُو الطَّيِّبِ وَطَائِفَةٌ الْوُجُوبَ وَحَكَاهُ
الْبَغَوِيُّ عَنِ الشَّافِعِيِّ
Syaikh Muhammad Ali Farkus al Jazairi dalam اعتبار اختلاف المطالع في ثبوت الأهلة و آراء الفقهاء فيه menulis:
فالأول:
يذهب إلى القول بتوحيد الرؤية ولا يعتبر اختلاف مطالع القمر في ثبوت
الأهلة، وبهذا قال الجمهور، وهو المعتمد عند الحنفية، ونسبه ابن عبد البر
إلى الإمام مالك فيما رواه عنه ابن القاسم والمصريون، كما عزاه إلى الليث
والشافعي والكوفيين وأحمد، وبه قال ابن تيمية والشوكاني وغيرهم من أهل
التحقيق، ويترتب على هذا القول وجوب القضاء إذا بدأ أهل بلد صومهم اليوم
الذي يلي رؤية الهلال في بلد آخر.
[5] فتح الباري لابن حجر 4/123
[6] Dalam riwayat orang-orang Madinah, yakni perkataan Al Mughiroh, Ibnu Dinar dan Ibnu Majisyun
[7] اعتبار اختلاف المطالع في ثبوت الأهلة و آراء الفقهاء فيه للشيخ محمد علي فركوس الجزائري
[8] Naylul Authar, 4/230
[9]
Dihitung dg software Mawaaqit v. 2.3, bandingkan dengan jarak Banda
Aceh (5°33′N 95°19′E) dengan Papua (4°46′ LS 137°48′ BT) yakni 4.662 km,
kalau konsekuen dengan hadits Kuraib ini ada kemungkinan 4 kombinasi
waktu awal-akhir Ramadhan yang berbeda di Indonesia.
[10] Beda 1
jam dalam derajat garis Bujur = 360o/24 jam = 15o/jam. Selisih garis
bujur Madinah dg Syam = 3o18’ = 3,3o. Selisih waktu Madinah dg Syam =
3,3o/15o jam = 0,22 jam = 13 menit 12 detik
No comments:
Post a Comment