Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya,
Maka shalatlah untuk Rabbmu dan sembelihlah hewan.” (Qs. Al Kautsar: 2) Syaikh Abdullah Alu Bassaam mengatakan, “Sebagian
ulama
ahli tafsir mengatakan; yang dimaksud dengan menyembelih hewan adalah
menyembelih hewan qurban setelah shalat Ied.” Pendapat ini dinukil dari
Qatadah, Atha’ dan Ikrimah (
Taisirul ‘Allaam, 534,
Taudhihul Ahkaam IV/450, &
Shahih Fiqih Sunnah II/366). Dalam istilah ilmu fiqih hewan qurban biasa disebut dengan nama
Al Udh-hiyah yang bentuk jamaknya
Al Adhaahi (dengan huruf ha’ tipis).
Pengertian Udh-hiyah
Udh-hiyah adalah hewan ternak yang disembelih pada hari Iedul Adha
dan hari Tasyriq dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah karena
datangnya hari raya tersebut (lihat Al Wajiz, 405 dan Shahih Fiqih
Sunnah II/366)
Keutamaan Qurban
Menyembelih qurban termasuk amal salih yang paling utama. ‘Aisyah
radhiyallahu’anha menceritakan bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidaklah
anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih
dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan darah (qurban), maka hendaknya
kalian merasa senang karenanya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim dengan sanad sahih, lihat
Taudhihul Ahkam, IV/450)
Hadis di atas didla’ifkan oleh Syaikh Al Albani (
Dla’if Ibn Majah,
671). Namun kegoncangan hadis di atas tidaklah menyebabkan hilangnya
keutamaan berqurban. Banyak ulama menjelaskan bahwa menyembelih hewan
qurban pada hari idul Adlha lebih utama dari pada sedekah yang senilai
atau seharga dengan hewan qurban, atau bahkan lebih utama dari pada
sedekah yang lebih banyak dari pada nilai hewan qurban. Karena maksud
terpenting dalam berqurban adalah mendekatkan diri kepada Allah. Bukan
semata-mata nilai binatangnya. Disamping itu, menyembelih qurban lebih
menampakkan syi’ar islam dan lebih sesuai dengan sunnah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. (lihat Shahih Fiqh Sunnah 2/379 & Syarhul Mumthi’ 7/521)
Hukum Qurban
Dalam hal ini para ulama terbagi dalam dua pendapat:
Pertama: Wajib bagi orang yang berkelapangan. Ulama yang
berpendapat demikian adalah Rabi’ah (guru Imam Malik), Al Auza’i, Abu
Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, Laits bin Sa’ad
beserta beberapa ulama pengikut Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
rahimahumullah. Syaikh Ibn
Utsaimin mengatakan: “Pendapat yang menyatakan wajib itu tampak lebih
kuat dari pada pendapat yang menyatakan tidak wajib. Akan tetapi hal itu
hanya diwajibkan bagi yang mampu…” (lih.
Syarhul Mumti’, III/408) Diantara dalilnya adalah hadits Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berqurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah 3123, Al Hakim 7672 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
Pendapat
kedua menyatakan Sunnah Mu’akkadah (ditekankan).
Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama yaitu Malik, Syafi’i, Ahmad,
Ibnu Hazm dan lain-lain. Ulama yang mengambil pendapat ini berdalil
dengan riwayat dari Abu Mas’ud Al Anshari
radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengatakan,
“Sesungguhnya
aku sedang tidak berqurban. Padahal aku adalah orang yang
berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khawatir kalau tetanggaku
mengira qurban itu adalah wajib bagiku.” (HR. Abdur Razzaq dan Baihaqi dengan sanad shahih). Demikian pula dikatakan oleh Abu Sarihah,
“Aku melihat Abu Bakar dan Umar sementara mereka berdua tidak berqurban.”
(HR. Abdur Razzaaq dan Baihaqi, sanadnya shahih) Ibnu Hazm berkata,
“Tidak ada riwayat sahih dari seorang sahabatpun yang menyatakan bahwa
qurban itu wajib.” (lihat
Al Muhalla 5/295, dinukil dari
Shahih Fiqih Sunnah II/367-368, dan
Taudhihul Ahkaam, IV/454).
Dalil-dalil di atas merupakan dalil pokok yang digunakan
masing-masing pendapat. Jika dijabarkan semuanya menunjukkan
masing-masing pendapat sama kuat. Sebagian ulama memberikan jalan keluar
dari perselisihan dengan menasehatkan: “…selayaknya bagi mereka yang
mampu, tidak meninggalkan berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih
menenangkan hati dan melepaskan tanggungan,
wallahu a’lam. (
Tafsir Adwa’ul Bayan, 1120).
Yakinlah…! Bagi mereka yang berqurban, Allah akan
segera memberikan ganti biaya qurban yang dia keluarkan. Karena setiap
pagi Allah mengutus dua
malaikat, yang satu berdo’a: “
Yaa Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfaq.” Dan yang kedua berdo’a: “
Yaa Allah, berikanlah kehancuran bagi orang yang menahan hartanya (pelit).” (HR. Al Bukhari 1374 & Muslim 1010).
Hewan yang Boleh Digunakan untuk Qurban
Hewan qurban hanya boleh dari jenis
Bahiimatul Al An’aam (hewan ternak). Dalilnya adalah firman Allah yang artinya,
“Dan
bagi setiap umat Kami berikan tuntunan berqurban agar kalian mengingat
nama Allah atas rezki yang dilimpahkan kepada kalian berupa hewan-hewan
ternak (bahiimatul an’aam).” (Qs. Al Hajj: 34). Dalam bahasa arab, yang dimaksud
Bahiimatul Al An’aam
hanya mencakup tiga binatang yaitu onta, sapi atau kambing. Oleh karena
itu, berqurban hanya sah dengan tiga hewan tersebut dan tidak boleh
selain itu. Bahkan sekelompok ulama menukilkan adanya ijma’
(kesepakatan) bahwasanya qurban tidak sah kecuali dengan hewan-hewan
tersebut (lihat
Shahih Fiqih Sunnah, II/369 dan
Al Wajiz
406) Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan, “Bahkan jika seandainya ada
orang yang berqurban dengan jenis hewan lain yang lebih mahal dari pada
jenis ternak tersebut maka qurbannya tidak sah. Andaikan dia lebih
memilih untuk berqurban seekor kuda seharga 10.000 real sedangkan seekor
kambing harganya hanya 300 real maka qurbannya (dengan kuda) itu tidak
sah…” (
Syarhul Mumti’ III/409)
Seekor Kambing untuk Satu Keluarga
Seekor kambing cukup untuk qurban satu keluarga, dan pahalanya
mencakup seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak, baik yang
masih hidup maupun yang sudah meninggal. Sebagaimana hadits Abu Ayyub
radhiyallahu’anhu yang mengatakan,
“Pada
masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seseorang (suami)
menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.” (HR. Tirmidzi dan beliau menilainya shahih, lihat
Minhaajul Muslim, 264 dan 266)
Oleh karena itu, tidak selayaknya seseorang mengkhususkan qurban
untuk salah satu anggota keluarganya tertentu, misalnya qurban tahun ini
untuk bapaknya, tahun depan untuk ibunya, tahun berikutnya untuk anak
pertama, dan seterusnya. Sesungguhnya karunia dan kemurahan Allah sangat
luas maka tidak perlu dibatasi.
Bahkan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban untuk
dirinya dan seluruh umatnya. Suatu ketika beliau hendak menyembelih
kambing qurban, sebelum menyembelih beliau mengatakan: “
Yaa Allah ini – qurban – dariku dan dari umatku yang tidak berqurban.” (HR. Abu Daud 2810 & Al Hakim 4/229 dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam
Al Irwa’ 4/349). Berdasarkan hadis ini, Syaikh Ali bin Hasan Al Halaby mengatakan: “
Kaum muslimin yang tidak mampu berqurban, mendapatkan pahala sebagaimana orang berqurban dari umat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Adapun yang dimaksud: “…kambing hanya boleh untuk satu orang, sapi
untuk tujuh orang, dan onta 10 orang…” adalah biaya pengadaannya. Biaya
pengadaan kambing hanya boleh dari satu orang, biaya pengadaan sapi
hanya boleh dari maksimal tujuh orang dan qurban onta hanya boleh dari
maksimal 10 orang.
Namun seandainya ada orang yang hendak membantu shohibul qurban yang
kekurangan biaya untuk membeli hewan, maka diperbolehkan dan tidak
mempengaruhi status qurbannya. Dan status bantuan di sini adalah hadiah
bagi shohibul qurban.
Apakah harus izin terlebih dahulu kepada pemilik hewan
? Jawab:
Tidak harus, karena dalam transaksi pemberian sedekah maupun hadiah
tidak dipersyaratkan memberitahukan kepada orang yang diberi sedekah
maupun hadiah.
Ketentuan Untuk Sapi & Onta
Seekor Sapi dijadikan qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor onta untuk 10 orang. Dari Ibnu Abbas
radhiyallahu’anhu beliau mengatakan,
“Dahulu
kami penah bersafar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
lalu tibalah hari raya Iedul Adha maka kami pun berserikat sepuluh orang
untuk qurban seekor onta. Sedangkan untuk seekor sapi kami berserikat
sebanyak tujuh orang.” (
Shahih Sunan Ibnu Majah 2536,
Al Wajiz, hal. 406).
Dalam masalah pahala, ketentuan qurban sapi sama dengan ketentuan
qurban kambing. Artinya urunan 7 orang untuk qurban seekor sapi,
pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga dari 7 orang yang ikut
urunan.
Arisan Qurban Kambing?
Mengadakan arisan dalam rangka berqurban masuk dalam pembahasan
berhutang untuk qurban. Karena hakekat arisan adalah hutang. Sebagian
ulama menganjurkan untuk berqurban meskipun harus hutang. Di antaranya
adalah Imam Abu Hatim sebagaimana dikatakan oleh Sufyan Ats Tsauri dan
disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya (
Tafsir Ibn Katsir,
surat Al Hajj: 36)[1]. Demikian pula Imam Ahmad dalam masalah aqiqah.
Beliau menyarankan agar orang yang tidak memiliki biaya aqiqah agar
berhutang dalam rangka menghidupkan sunnah aqiqah di hari ketujuh
setelah kelahiran.
Sebagian ulama lain menyarankan untuk mendahulukan pelunasan hutang
dari pada berqurban. Di antaranya adalah Syaikh Ibn Utsaimin dan ulama
tim fatwa islamweb.net dibawah bimbingan Dr. Abdullah Al Faqih (lih.
Fatwa Syabakah Islamiyah no. 7198 & 28826). Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “
Jika orang punya hutang maka selayaknya mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban.” (
Syarhul Mumti’
7/455). Bahkan Beliau pernah ditanya tentang hukum orang yang tidak
jadi qurban karena uangnya diserahkan kepada temannya yang sedang
terlilit hutang, dan beliau jawab: “
Jika di hadapkan dua
permasalahan antara berqurban atau melunaskan hutang orang faqir maka
lebih utama melunasi hutang, lebih-lebih jika orang yang sedang terlilit
hutang tersebut adalah kerabat dekat.” (lih.
Majmu’ Fatawa &
Risalah Ibn Utsaimin 18/144).
Namun pernyataan-pernyataan ulama di atas tidaklah saling
bertentangan. Karena perbedaan ini didasari oleh perbedaan dalam
memandang keadaan orang yang berhutang. Sikap ulama yang menyarankan
untuk berhutang ketika qurban terkait dengan orang yang keadaanya mudah
dalam melunasi hutang atau hutang yang jatuh temponya masih panjang.
Sedangkan anjuran sebagian ulama untuk mendahulukan pelunasan hutang
dari pada qurban terkait dengan orang yang kesulitan melunasi hutang
atau orang yang memiliki hutang dan pemiliknya meminta agar segera
dilunasi.
Dengan demikian, jika arisan qurban kita golongkan sebagai hutang
yang jatuh temponya panjang atau hutang yang mudah dilunasi maka
berqurban dengan arisan adalah satu hal yang baik.
Wallahu a’lam.
Hukum Qurban Kerbau
Para ulama’ menyamakan kerbau dengan sapi dalam berbagai hukum dan keduanya dianggap sebagai satu jenis (
Mausu’ah Fiqhiyah Quwaithiyah 2/2975). Ada beberapa ulama yang secara tegas membolehkan berqurban dengan kerbau. Baik dari kalangan Syafi’iyah (lih.
Hasyiyah Al Bajirami) maupun dari madzhab Hanafiyah (lih.
Al ‘Inayah Syarh Hidayah 14/192 dan
Fathul Qodir 22/106). Mereka menganggap keduanya satu jenis.
Syaikh Ibn Al Utasimin pernah ditanya tentang hukum qurban dengan kerbau.
Isi Pertanyaan:
“Kerbau dan sapi memiliki perbedaan adalam banyak sifat sebagaimana
kambing dengan domba. Namun Allah telah merinci penyebutan kambing
dengan domba tetapi tidak merinci penyebutan kerbau dengan sapi,
sebagaimana disebutkan dalam surat Al An’am 143. Apakah boleh berqurban
dengan kerbau?”
Beliau menjawab:
“Jika kerbau termasuk (jenis) sapi maka kerbau sebagaimana sapi namun
jika tidak maka (jenis hewan) yang Allah sebut dalam alqur’an adalah
jenis hewan yang dikenal orang arab, sedangkan kerbau tidak termasuk
hewan yang dikenal orang arab.” (
Liqa’ Babil Maftuh 200/27)
Jika pernyataan Syaikh Ibn Utsaimin kita bawa pada penjelasan ulama
di atas maka bisa disimpulkan bahwa qurban kerbau hukumnya sah, karena
kerbau sejenis dengan sapi.
Wallahu a’lam.
Urunan Qurban Satu Sekolahan
Terdapat satu tradisi di beberapa lembaga pendidikan di daerah kita,
ketika idul adha tiba sebagian sekolahan menggalakkan kegiatan latihan
qurban bagi siswa. Masing-masing siswa dibebani iuran sejumlah uang
tertentu. Hasilnya digunakan untuk membeli kambing dan disembelih di
hari-hari qurban.
Apakah ini bisa dinilai sebagai ibadah qurban?
Perlu dipahami bahwa qurban adalah salah satu ibadah dalam islam yang
memiliki aturan tertentu sebagaimana yang digariskan oleh syari’at.
Keluar dari aturan ini maka tidak bisa dinilai sebagai ibadah qurban,
alias qurbannya tidak sah. Di antara aturan tersebut adalah masalah
pembiayaan. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, biaya pengadaan untuk
seekor kambing hanya boleh diambilkan dari satu orang. Oleh karena itu
kasus tradisi ‘qurban’ seperti di atas tidak dapat dinilai sebagai
qurban. Karena biaya pengadaan kambing diambil dari sejumlah siswa.
Berqurban Atas Nama Orang yang Sudah Meninggal?
Berqurban untuk orang yang telah meninggal dunia dapat dirinci menjadi tiga bentuk:
- Orang yang meninggal bukan sebagai sasaran qurban utama namun
statusnya mengikuti qurban keluarganya yang masih hidup. Misalnya
seseorang berqurban untuk dirinya dan keluarganya sementara ada di
antara keluarganya yang telah meninggal. Berqurban jenis ini dibolehkan
dan pahala qurbannya meliputi dirinya dan keluarganya, termasuk yang
sudah meninggal.
- Berqurban khusus untuk orang yang telah meninggal tanpa ada wasiat
dari mayit. Sebagian ulama madzhab hambali menganggap ini sebagai satu
hal yang baik dan pahalanya bisa sampai kepada mayit, sebagaimana
sedekah atas nama mayit (lih. Fatwa Majlis Ulama Saudi no. 1474
& 1765). Namun sebagian ulama’ bersikap keras dan menilai perbuatan
ini sebagai satu bentuk bid’ah, mengingat tidak ada tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tidak ada riwayat bahwasanya beliau berqurban atas nama Khadijah,
Hamzah, atau kerabat beliau lainnya yang telah meninggal, mendahului
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang
menyatakan bahwa berqurban atas nama orang yang sudah meninggal secara
khusus tanpa ada wasiat sebelumnya adalah tidak disyariatkan. Karena
Nabi r tidak pernah melakukan hal itu. Padahal beliau sangat mencintai
keluarganya yang telah meninggal seperti istri beliau tercinta Khadijah
dan paman beliau Hamzah.
- Berqurban khusus untuk orang yang meninggal karena mayit pernah
mewasiatkan agar keluarganya berqurban untuk dirinya jika dia meninggal.
Berqurban untuk mayit untuk kasus ini diperbolehkan jika dalam rangka
menunaikan wasiat si mayit. (Dinukil dari catatan kaki Syarhul Mumti’ yang diambil dari Risalah Udl-hiyah Syaikh Ibn Utsaimin 51)
Umur Hewan Qurban
Dari Jabir bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah
kalian menyembelih (qurban) kecuali musinnah. Kecuali apabila itu
menyulitkan bagi kalian maka kalian boleh menyembelih domba jadza’ah.” (Muttafaq ‘alaih)
Musinnah adalah hewan ternak yang sudah dewasa, diambil dari kata
sinnun yang artinya gigi. Hewan tersebut dinamakan
musinnah karena hewan tersebut sudah ganti gigi (bahasa jawa: pow’el). Adapun rincian usia hewan
musinnah adalah:
No. |
Hewan |
Usia minimal |
1. |
Onta |
5 tahun |
2. |
Sapi |
2 tahun |
3. |
Kambing jawa |
1 tahun |
4. |
Domba |
6 bulan (domba Jadza’ah) |
(lihat
Syarhul Mumti’, III/410,
Taudhihul Ahkaam, IV/461)
Apakah yang menjadi acuan usianya ataukah ganti giginya?
Yan menjadi acuan hewan tersebut bisa digolongkan musinnah adalah usianya. Karena penamaan
musinnah untuk
hewan yang sudah genap usia qurban adalah penamaan dengan umumnya kasus
yang terjadi. Artinya, umumnya kambing yang sudah berusia 1 tahun atau
sapi 2 tahun itu sudah ganti gigi. Disamping itu, ketika para ulama
menjelaskan batasan hewan
musinnah dan hewan
jadza’ah,
mereka menjelaskannya dengan batasan usia. Dengan demikian, andaikan
ada sapi yang sudah berusia 2 tahun namun belum ganti gigi, boleh
digunakan untuk berqurban.
Allahu a’lam.
Berkurban dengan domba jadza’ah itu dibolehkan secara mutlak ataukah bersyarat
Ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. An Nawawi menyebutkan ada beberapa pendapat:
Pertama, boleh berqurban dengan hewan jadza’ah dengan
syarat
kesulitan untuk berqurban dengan musinnah. Pendapat ini diriwayatkan
dari Ibn Umar dan Az Zuhri. Mereka berdalil dengan makna dlahir hadis di
atas.
Kedua, dibolehkan berqurban dengan domba
jadza’ah
(usia 6 bulan) secara mutlak. Meskipun shohibul qurban memungkinkan
untuk berqurban dengan musinnah (usia 1 tahun). Pendapat ini dipilih
oleh mayoritas ulama. Sedankan hadis Jabir di atas dimaknai dengan makna
anjuran. Sebagaimana dianjurkannya untuk memilih hewan terbaik ketika
qurban.
Insyaa Allah pendapat kedua inilah yang lebih kuat. Karena pada hadis
Jabir di atas tidak ada keterangan terlarangnya berqurban dengan domba
jadza’ah dan tidak ada keterangan bahwa berqurban dengan jadza’ah
hukumnya tidak sah. Oleh karena itu, Jumhur ulama memaknai hadis di atas
sebagai anjuran dan bukan kewajiban.
Allahu a’lam.
(Syarh Shahih Muslim An Nawawi 6/456)
Cacat Hewan Qurban
Cacat hewan qurban dibagi menjadi 3:
a. Cacat yang menyebabkan tidak sah untuk berqurban, ada 4 [2]:
– Buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya
Jika butanya belum jelas – orang yang melihatnya menilai belum buta –
meskipun pada hakekatnya kambing tersebut satu matanya tidak berfungsi
maka boleh diqurbankan. Demikian pula hewan yang rabun senja. ulama’
madzhab syafi’iyah menegaskan hewan yang rabun boleh digunakan untuk
qurban karena bukan termasuk hewan yang buta sebelah matanya.
– Sakit dan jelas sekali sakitnya. Tetapi jika sakitnya belum jelas,
misalnya, hewan tersebut kelihatannya masih sehat maka boleh
diqurbankan.
– Pincang dan tampak jelas pincangnya
Artinya pincang dan tidak bisa berjalan normal. Akan tetapi jika baru
kelihatan pincang namun bisa berjalan dengan baik maka boleh dijadikan
hewan qurban.
– Sangat tua sampai-sampai tidak punya sumsum tulang
Dan jika ada hewan yang cacatnya lebih parah dari 4 jenis cacat di atas maka lebih tidak boleh untuk digunakan berqurban. (lih.
Shahih Fiqih Sunnah, II/373 &
Syarhul Mumti’ 3/294).
b. Cacat yang menyebabkan makruh untuk berqurban, ada 2 [3]:
– Sebagian atau keseluruhan telinganya terpotong
– Tanduknya pecah atau patah
(lihat
Shahih Fiqih Sunnah, II/373)
c. Cacat yang tidak berpengaruh pada hewan qurban (boleh dijadikan untuk qurban) namun kurang sempurna.
Selain 6 jenis cacat di atas atau cacat yang tidak lebih parah dari itu
maka tidak berpengaruh pada status hewan qurban. Misalnya tidak bergigi
(ompong), tidak berekor, bunting, atau tidak berhidung.
Wallahu a’lam (lihat
Shahih Fiqih Sunnah, II/373)
Footnotes:
[1] Sufyan At Tsauri
rahimahullah mengatakan: “Dulu Abu
Hatim pernah berhutang untuk membeli unta qurban. Beliau ditanya: “Kamu
berhutang untuk beli unta qurban?” beliau jawab: “Saya mendengar Allah
berfirman:
لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ (kamu memperoleh kebaikan yang banyak pada unta-unta qurban tersebut) (Qs. Al Hajj: 36). (lih.
Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj: 36)
[2] Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang cacat
hewan apa yang harus dihindari ketika berqurban. Beliau menjawab: “Ada
empat cacat…dan beliau berisyarat dengan tangannya.” (HR. Ahmad 4/300
& Abu Daud 2802, dinyatakan Hasan-Shahih oleh Turmudzi). Sebagian
ulama menjelaskan bahwa isyarat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangannya ketika menyebutkan empat cacat tersebut menunjukkan bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
membatasi jenis cacat yang terlarang. Sehingga yang bukan termasuk
empat jenis cacat sebagaimana dalam hadis boleh digunakan sebagai
qurban. (
Syarhul Mumthi’ 7/464)
[3] Terdapat hadis yang menyatakan larangan berqurban dengan hewan
yang memilki dua cacat, telinga terpotong atau tanduk pecah. Namun
hadisnya dlo’if, sehingga sebagian ulama menggolongkan cacat jenis kedua
ini hanya menyebabkan makruh dipakai untuk qurban. (
Syarhul Mumthi’ 7/470)
***
Penulis: Ammi Nur Baits
Artikel
www.muslim.or.id
Link Artikel Asli di
http://muslim.or.id/1593-panduan-ibadah-qurban-bagian-1.html
Ilustrasi :
http://sarana-muslim.com/wp-content/uploads/2014/08/keep-calm-and-ready-for-qurban.png